Kamis, 16 April 2009

KAMU BOLEH PERGI

KAMU BOLEH PERGI
( Cerpen Cinta terlarang )



“ Adzan menggema menuntun jiwa
Pada sebuah siang di pelataran masjid kampus
Kau menunggu sementara aku berwudhu
Perbedaan telah membuat kita tak sejalan “


Malam yang bening, satu rembulan terangnya menembus daun-daun berkilauan, ratusan bahkan jutaan bintang bergantian berkedip genit menghiasi bumi yang nyaris renta di gerus masa. Suara jangkrik dan kodok dari balik pematang di genangi air, bersahutan begitu indah seirama. Goyangan ranting-ranting bunga tebu gemulai lembut di terpa angin semilir. istirahkan jiwa yang lelah seharian menganyam harapan. Namun tetap juga sama seperti malam-malam yang terlewati, mataku sulit terpejam meski lunglai mengepung tubuh dari kaki hingga kepala.
Malam yang hening, sendiri aku menghisap penat dan puluhan batang rokok, inspirasi kekalutan menyerang tak bisa lagi kubendung, kamar mulai pengap di kepung putih kuning asap rokok yang jelas-jelas mematikan meski rendah tar dan nikotin. Tetap saja. Aku belum mampu rebahkan letih di atas kasur rombeng penuh debu dan gelisah.
Aku mencoba mengingat-ingat kejadian tadi sore, saat bersamamu beradu pandang lalu bicara tegas di kantin kampus yang mulai sepi di tinggal teman-teman. Kita berdua terdiam sejenak sambil menyeruput sebotol limun dingin kesukaan kita. Sesekali aku mencuri indah lentik bulu matamu yang terhalang gerai rambut hitam lurus berkilau tertimpa cahaya matahari yang masuk dari sela-sela atap asbes kantin yang bolong. Aku memilih tidak banyak bicara sebab pertemuan mendadak ini kau yang minta, entah ada apa, aku malas mengira-ngira maksud dari pertemuan ini.
Tiba-tiba pikiranku mencipta ingatan masa lalu, menerobos kenangan perjalanan kita yang nyaris genap lima tahun lamanya :
“Masa-masa awal perkenalan kita, menjelang ospek kau dan aku mahasiswa yang baru saja di celupkan ke dalam alma mater kampus biru. Berebut kemampuan mewujudkan permintaan senior yang kadang tidak masuk akal, meniru gaya politikus meski kau tak mirip tapi aku bangga akan kerja kerasmu sampai-sampai terlihat geli dan tak mampu menahan tawa lalu mampir ke toilet sebentar. Sementara aku frontal dan susah di atur, radikal, bahkan kadang menolak di perintah untuk mengumpulkan barang purba yang tak mungkin aku dapatkan dari mal atau pasar rakyat sekalipun. Lalu, para seniorpun menghukumku dengan lompat kodok mengelilingi parkiran fakultas yang sejuk di lindungi deretan pohon sengon. Sekarang, giliranmu yang tertawa sampai keluar air mata melihatku kelelahan dan penuh keringat. ( siang yang konyol, dendam turun temurun harus terjadwal dari kegiatan kampus, mungkin saja sampai kiamat )
Menjelang petang, kegiatan tahunan akhirnya usai, aku duduk menyender pada bangku tua tepat di depan kelas, sementara jemarimu sibuk memainkan keypad hand phone, mungkin mengabarkan orang tua lewat sms bahwa anaknya baik-baik saja di rantau orang. Ups...! anak mami yang manja, tapi cerdas dan mau membaur pada level apapun. Diam-diam aku terbangkit bangga dan terus memandangi wajahmu yang letih, sebab seharian penuh bertarung dengan kegiatan yang memaksa untuk tetap berada di lapangan hitam tiada ampun.
Akhirnya, perkenalan kita pun semakin lekat, aku sering membantumu membuat paper dan begitu sebaliknya. Kadang aku juga meminjam bukumu dan kamu tak pernah segan-segan mengikhlaskannya. Saat istirahat, kita berdua dan sejumlah teman-teman ngobrol bersama sambil menikmati renyahnya lumpia bikinan mbak ponirah pemilik kantin. Hari itu ringan saja, tak ada beban. Semuanya mengalir tanpa di buat-buat, tanpa di reka-reka. Cerita kita mengayun menciptakan persahabatan yang semakin deras. Bersama yang lainnya, kitapun sering bertukar pikiran tentang kuliah dan keinginan di masa depan.
Di suatu hari yang lain, gejala takut kehilanganmupun mulai menggerogoti, perasaan ingin bersamamu terus menjadi candu, kamar kosku di penuhi gambarmu, meja belajarku di hantui senyummu terus-menerus. Semestinya aku tak boleh merubah pertemanan menjadi lebih. Begitu pikirku, karena perbedaan keyakinan jelas-jelas menggaris tegas tanpa kompromi. Tapi akupun tak mau membohongi rasa yang terlanjur tercipta : ( Ya, aku mencintainya!, sepertinya itu yang aku rasakan sekarang )
Hari ini, aku berniat bertemu dengannya seusai kuliah, aku berencana mengajaknya pergi ke malioboro dan bicara apa adanya. Semampuku, ya, semampuku. Sebab aku sudah tak kuat lagi menahan gejolak ini. Mungkin yang akan aku terima nanti pahit, tapi lebih baik seperti itu ketimbang tak di kompromikan malah menjadi duri dalam hati.
Malioboro yang ramai, andong dan becak bertebaran mengangkut wisatawan luar negeri dan domestik, pedagang souvenir asik negosiasi dengan para pembeli, polisi lalu-lintas sibuk mengatur jalan agar tak macet. Sebab luas jalan di malioboro jelas-jelas tak seimbang dengan jumlah kendaraan yang semakin lama semakin bertambah. Tapi itulah Yogya, kota yang tak henti-hentinya di datangi wisatawan karena menarik dan ramah. ( bukan karena kemacetannya lho! ).
Bus jalur empat yang membawa kita dari kampus, berhenti di halte dekat pasar beringharjo, akupun turun sambil menggandeng tangannya agar tak terpisah dari banyaknya kerumunan orang. Di depan pintu pasar tradisional, nampak ibu-ibu berkebaya menawarkan beraneka macam makanan jawa. Dari tempe gembos, tahu bacem, sayur mayur yang di jadikan pecal, sate telur puyuh dan segumpal tiwul manis legit.
Sayang, tadi aku sempat makan di kantin kampus, jadi tak berminat lagi untuk mencicipi semua itu.
Kau dan aku berjalan sedikit menuju benteng Vredeburg yang tepat persis di depan Istana Kepresidenan Yogyakarta. Cuaca cerah membuat aku lebih memilih duduk-duduk di halaman benteng yang sejuk di penuhi pohon kamboja. Aku bersyukur karena hari ini tak ada kegiatan pameran atau apapun di benteng ini, jadi aku bisa leluasa mengucurkan isi hati tanpa harus terganggu dengan orang-orang yang biasanya hilir mudik.
Sesekali angin datang menampar pipimu yang bening, duduk di sampingku menunggu dan menebak-nebak, apa gerangan yang akan ku lontarkan dari mulutku. Begitulah aku menebak-nebak wajahmu yang nampak khawatir dan kebingungan. Pelan-pelan tapi pasti akhirnya ku beranikan diri mengungkapkan semua keinginan dan harapanku. Fantastis! Kau terdiam sambil menggangguk, tanda setuju kau menerima pinanganku sebagai kekasih yang akan selalu bersamamu di masa datang. ( Oh...,aku lupa bagaimana rasa pahitnya buah maja )
Sore yang riang, hatiku berbunga. Cinta terkembang bersayap terbang menyusup ke dalam sukmamu yang ku tahu juga merasakan bahagia. ( Tuhan...,setelah ini jangan Kau ciptakan perpisahan, sebab cintaku terlalu dalam masuk tak bersisa )
Setiap hari sepulang kuliah, biasanya tepat jam satu siang, kau menungguku setia di depan kelas. Begitu sebaliknya. Komitmen yang kita buat teramat kuat, tak ada satupun yang mampu merevisi klausul baku kau dan aku. Semua terjadi karena cinta. Mustahil terpencar kecuali Tuhan yang meminta.
( sampai-sampai kita lupa dengan perbedaan keyakinan yang sangat sakral )”

Akupun tersentak saat tanganmu yang halus menyadarkanku dari lamunan yang panjang. Pengembaraanku ke masa lalu terhenti. Ruh ku menyatu lagi bersama tubuh dan duduk tepat di hadapanmu. Di kantin kampus. Ya, di kantin kampus aku berdebar-debar menunggumu angkat bicara.
Bibir atasmu mulai bergerak, gemetar seakan berat melontarkan kalimat kulihat, dentuman jantungmu memaksa untuk diam dan tak menghamburkan kata-kata. Pandanganmu kosong, namun tekanan teramat kuat entah dari mana yang akhirnya memaksamu jelas mengeluarkan nada.
“ Bang, bapak tahu tentang hubungan kita, dia menyuruh aku untuk menjauh dari abang. Persoalannya terlalu rumit dan tegas. Bapak bilang jangan jadikan cinta sebagai pengesahan dua insan yang berbeda keyakinan tetap menyatu. Kemarahan bapak tak bisa aku bendung bang, dia berani menganggap aku bukan anaknya kalau aku masih terus bersama kamu”.
Mulutku rapat terkunci, bumi seakan berputar dan ingin menjatuhkan aku ke dalam tumpukan bara api bertubi-tubi. Rasional pertahanan diri pupus seketika, hatiku berlubang. Ingin meledakkan emosi tapi hati menuntuku jangan. Campur aduk kecewa dan amarah tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Begitu aku kira.
“ Lalu, bapakmu bilang apa lagi?” Jawabku sambil membayangkan pahitnya buah maja yang sebentar lagi akan menjadi sahabatku.
“ Bapak tidak bicara apa-apa lagi, dia langsung meredam merah wajahnya lalu membanting pintu masuk ke dalam kamar. Hanya aku yang menafsirkan, memang benar bang, tidak pernah ada satu perahu dua nakhoda, kalau itu terjadi maka seluruh penumpangnya akan jauh tersesat “. Begitu ucapmu terakhir kalinya.
Aku terdiam sambil mengatur ritme nafasku, mencoba merenungi arti dari penyatuan cinta yang besar namun berlandaskan keyakinan yang berbeda. Barangkali bapaknya benar bahwa cinta tak pernah mengajarkan kita untuk mengalahkan keyakinan, ( Kau masuk ke dalam yakinku atau aku yang pindah ke dalam yakinmu. Tidak, itu bukan perintah cinta, cinta teramat tinggi kedudukannya, selama ini manusialah yang sudah menurunkan derajat cinta demi kepentingan segenggam nafsu )
“ De, aku rasa bapakmu benar, selama ini kita mempermainkan cinta hanya karena keinginan bersama terus mendesak-desak. Di balik itu semua, kita tidak mengerti apa arti cinta yang sebenarnya. Kamu boleh pergi de, tapi kita tetap sebagai sahabat yang ada dikala suka dan duka. Toh semua hubungan tidak melulu di isi percintaan sepasang kekasih. Biarlah ini menjadi sebuah kenangan yang penuh hikmah, kau akan terus ada di hatiku meski tak utuh menjadi milikku”.
Matahari perlahan merendah, sinarnya meredup mengantarmu bangkit meninggalkanku, aku lihat kau menjauh, sambil tersenyum ikhlas meski air mata dan desau perihmu terlihat jelas.
Bayangan bulan mulai terlihat, aku bergegas meninggalkan kantin kampus yang mulai sepi. Kelas-kelas terkunci, burung-burung menyelinap genting-genting tinggi. Satu hari penuh makna ku toreh di rak hati terdalam. menganyam cerita lain esok hari, yang tentu berbeda dengan cerita kita...>>>

1 komentar:

  1. SEPERTINYA ANDA AHLI DALAM MENULIS CERITA2 YANG SEDIH DAN PILU APAKAH ITU CERMINAN DARI PENULISNYA?

    BalasHapus