Senin, 27 April 2009
Sabtu, 25 April 2009
NAKHODA
Dik...
aku sudah sampai di berandamu
masa kau diam saja malah tak seri menyambutku
coba kembangkan senyum lalu kau solekan gincu dibibirmu
agar ku tak ragu bahwa kau memang tegas menungguku
Dik...
Aku tidak melihat mawar yang kita tanam tiga tahun lalu
sebelum ku berangkat berlayar berharap pulang menujumu
lalu kau bilang : “ Bunga itu tanda keabadian kita bang”
aku curiga jangan-jangan kau sudah memiliki kekasih baru
Dik...
siapa barusan yang mengintip dari balik jendela rumahmu
wajahnya kekar sedikit terlihat terhalang gorden mata penuh amarah
nafasku tersesak menatapmu menunduk jelas penuh prasangka
“ Abang pulang saja ya dik, menyusun hari membuang rindu sia-sia”
Jumat, 24 April 2009
ODE BUAT EKSEKUSI
Seperti biasa aku terpuruk terkurung masa
meleleh asa leher ingin menjuntai pada tiang bertali
takut akan kerentaan melemah raga tak berdaya
iman yang tercabik-cabik bertepuk riuh para iblis keriangan
mati. Ya, hakim telah memutusku hukuman mati
Pada malam cahaya remang lampu lima watt
sajadahku terhampar menggelepar di hujam air mata
sepuluh moncong senapan semenit lagi menuju sasaran
membidik jantung merobek keinginan bertemu jemari istriku
(Aku) terpidana, membunuh satu keluarga sebab hutang berlimpah berbunga
Di arena kebun kosong gelap pekat tak berpenghuni
darahku muncrat pada hitungan ketiga komando tak kasat mata
satu peluru bersarang tepat di dadaku berbaju tak berkancing
aku kepayang mataku lebam di tutup kain hitam tak tembus pandang
(Aku) terpidana, melunasi peristiwa menjawab tegak hukum dunia
Rabu, 22 April 2009
MEDIO HARI KELAM
( CERPEN )
“ Tiba-tiba ada rindu,
masuk menohok sela-sela hati,
aku sesak memandang wajah asing,
menantang persis di sepuluh tahun yang lalu”
Sabtu sore ( Pk 16.00 Wib )...
Lubang hitam di hati menganga dalam seperti kubangan, menyisakan genangan nyeri meski terkadang aku memaksa diri untuk bertahan. Berusaha riang di antara kota-kota yang aku singgahi, berjuang menjinakkan luka yang kau toreh teramat perih. Berjalan terus mencoba menepis wajah manismu yang selalu tergambar jelas di aspal-aspal hitam panas terbakar matahari. Ya. Wajahmu selalu tampil tegas di setiap gerak langkahku yang nyaris lumpuh.
Sabtu malam ( Pk 22.00 Wib )...
Malam ini aku mengeluh, berteriak keras mengadu pada bulan yang muncul setengah. Melampiaskan amarah mencari penyebab kau pergi tanpa peduli betapa hancurnya aku. Namun apa yang ku dapat dari bulan dan malam yang di gasruk kelam? Hanya seonggok diam, dan pelan-pelan malah menamparku dengan angin lalu mengejek kecengengan seorang laki-laki yang seharusnya tegar seperti karang dan gelombang. Duh..., mengapa alam tidak mengerti juga, kalau cinta mampu membuat tolol manusia super jenius sekalipun.
Minggu pagi ( Pk 08.05 Wib )...
Teriakan still got the blues dari Gary moore yang sengaja aku pasang pada alarm hand phone memaksaku terbangun, semestinya alarm itu berbunyi di hari kerja, tapi aku lupa meresetnya kembali, padahal aku berencana di hari libur begini akan meng habiskan waktuku untuk tidur lebih lama. Sial, benar-benar sial, semalaman aku tidak dapat memejamkan mata hanya karena memikirkan ketidakpercayaanku akan kepergianmu yang teramat cepat. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan pagi ini, aku hanya butuh secangkir kopi dan sebatang rokok.
Minggu siang ( Pk 11.30 Wib )...
Sesiang ini, wajahku lesu, mataku layu, tubuh lemas seperti kurang darah, nafsu makan hilang, jemari-jemari kering keriput, perut mual seperti ingin memuntahkan kekecewaan akan ketakberdayaanku sepeninggal kamu. Lorong-lorong waktu terus bergerak mencuri masa, jejak-jejak gelisah tercecer di hari-hari yang kering dan sepi. Oh Gusti..., beginikah rasanya kehilangan. Bernyanyi sumbang, puisi tak lagi bergelombang merayu, senar-senar dawai mengendur sendu, daun-daun penghias taman jatuh jumpalitan bergantian menyentuh tanah. Lalu, kemana perginya sebuah perjanjian, yang sempat tertulis pada batu tua pondasi asmara?.
Minggu sore ( Pk 17.30 )...
Hari yang kusam telah aku lewati. Kehilanganmu adalah siksaan berat, semakin jauh niatku untuk membuang bayangmu, semakin dekat pula kenangan-kenangan berhamburan mengusik rasa kerinduanku. Aku terkulai lagi, mencoba mencari celah-celah ketegaran, mengorek kepahitan agar aku dapat membenci keterbelahan ini, lalu mengurung dan menenggelamkannya ke dalam ruang yang mampu membuatku hidup seperti sediakala.Tapi lagi-lagi, ini persoalan hati. Siapa yang mampu menyembuhkan luka hati?.
Minggu malam ( Pk 00.00 )
Lagi, aku berkubang dengan lamunan tentangmu. Mengabadikan saat bersamamu dalam film-film fiksi di pikiranku, mengais sisa-sisa kebersamaan kita meski pahit dan jelas tergambar tak akan pernah kembali. Jeritan-jeritan kerinduan bertalu-talu memukul dinding keheranan, memacu debaran lalu menjalar dalam-dalam sel-sel darah di sekujur tubuh. Namun aku tidak pernah menyesal, dan entah sudah berapa lama aku berusaha mempertahankan perjanjian. Tak pernah ada sia-sia, meski pada akhirnya runtuh juga. Perjalanan hidup. Ya, barangkali itulah yang mesti aku sikapi akan perpisahan kita. “Bukankah tidak ada yang abadi di dunia ini? Apa yang membuat manusia merasa bahwa kekekalan adalah miliknya?”
Senin siang ( Pk 13.05 )
Aku berusaha menetralisir perasaan, mencoba kembali ke titik awal dan menghibur diri dengan setumpuk pekerjaan yang harus terselesaikan. Pelan-pelan namun pasti semuanya kembali padaku. Teman-teman yang mengerti akan keadaanku saling berebutan memberikan saran tanpa harus menerima bayaran. Aku hanya tertawa ringan, sebab persoalan hati tidak akan pernah habis dan selesai hanya dengan berkonsultasi. Ini semua harus di selesaikan olehku. Itu saja. Bukan aku mengabaikan nasehat mereka, malah aku berterima kasih karena mereka telah berempati padaku.
Mereka kasihan melihatku yang tampak frustasi dan layuh karena kau tinggal pergi.
Senin malam ( Pk 19.00 )
Setibaku di rumah, ku yakinkan diri untuk langsung mandi dan bergegas tidur. Tak ingin lagi mengupas gambar-gambar tentang kita yang membuatku semakin letih dan seperti orang tolol. Tekad untuk melanjutkan hidup dengan baik sudah bulat aku rasa, jadi untuk apa juga membuang-buang waktu memikirkanmu yang belum tentu peduli padaku.
Ajaib! Lagu she’gone dari stell heart membangunkanku di selasa pagi. Sumringah wajahku terekam dalam cermin masa depan, kealpaanku mengenangmu tadi malam memberikan harapan dan kenyamanan di hari-hari yang akan aku lalui nanti. Ku ambil laci berkunci besi dan kumasukan wajahmu ke dalamnya, tak akan pernah ku buka sebab nyeri pasti menghambat pergerakkanku selanjutnya. Selamat jalan kelam, sampaikan senyumku nanti malam pada bintang dan bulan yang pernah mengejeku di medio hari kelam>>>
Selasa, 21 April 2009
Jumat, 17 April 2009
Kamis, 16 April 2009
KAMU BOLEH PERGI
( Cerpen Cinta terlarang )
“ Adzan menggema menuntun jiwa
Pada sebuah siang di pelataran masjid kampus
Kau menunggu sementara aku berwudhu
Perbedaan telah membuat kita tak sejalan “
Malam yang bening, satu rembulan terangnya menembus daun-daun berkilauan, ratusan bahkan jutaan bintang bergantian berkedip genit menghiasi bumi yang nyaris renta di gerus masa. Suara jangkrik dan kodok dari balik pematang di genangi air, bersahutan begitu indah seirama. Goyangan ranting-ranting bunga tebu gemulai lembut di terpa angin semilir. istirahkan jiwa yang lelah seharian menganyam harapan. Namun tetap juga sama seperti malam-malam yang terlewati, mataku sulit terpejam meski lunglai mengepung tubuh dari kaki hingga kepala.
Malam yang hening, sendiri aku menghisap penat dan puluhan batang rokok, inspirasi kekalutan menyerang tak bisa lagi kubendung, kamar mulai pengap di kepung putih kuning asap rokok yang jelas-jelas mematikan meski rendah tar dan nikotin. Tetap saja. Aku belum mampu rebahkan letih di atas kasur rombeng penuh debu dan gelisah.
Aku mencoba mengingat-ingat kejadian tadi sore, saat bersamamu beradu pandang lalu bicara tegas di kantin kampus yang mulai sepi di tinggal teman-teman. Kita berdua terdiam sejenak sambil menyeruput sebotol limun dingin kesukaan kita. Sesekali aku mencuri indah lentik bulu matamu yang terhalang gerai rambut hitam lurus berkilau tertimpa cahaya matahari yang masuk dari sela-sela atap asbes kantin yang bolong. Aku memilih tidak banyak bicara sebab pertemuan mendadak ini kau yang minta, entah ada apa, aku malas mengira-ngira maksud dari pertemuan ini.
Tiba-tiba pikiranku mencipta ingatan masa lalu, menerobos kenangan perjalanan kita yang nyaris genap lima tahun lamanya :
“Masa-masa awal perkenalan kita, menjelang ospek kau dan aku mahasiswa yang baru saja di celupkan ke dalam alma mater kampus biru. Berebut kemampuan mewujudkan permintaan senior yang kadang tidak masuk akal, meniru gaya politikus meski kau tak mirip tapi aku bangga akan kerja kerasmu sampai-sampai terlihat geli dan tak mampu menahan tawa lalu mampir ke toilet sebentar. Sementara aku frontal dan susah di atur, radikal, bahkan kadang menolak di perintah untuk mengumpulkan barang purba yang tak mungkin aku dapatkan dari mal atau pasar rakyat sekalipun. Lalu, para seniorpun menghukumku dengan lompat kodok mengelilingi parkiran fakultas yang sejuk di lindungi deretan pohon sengon. Sekarang, giliranmu yang tertawa sampai keluar air mata melihatku kelelahan dan penuh keringat. ( siang yang konyol, dendam turun temurun harus terjadwal dari kegiatan kampus, mungkin saja sampai kiamat )
Menjelang petang, kegiatan tahunan akhirnya usai, aku duduk menyender pada bangku tua tepat di depan kelas, sementara jemarimu sibuk memainkan keypad hand phone, mungkin mengabarkan orang tua lewat sms bahwa anaknya baik-baik saja di rantau orang. Ups...! anak mami yang manja, tapi cerdas dan mau membaur pada level apapun. Diam-diam aku terbangkit bangga dan terus memandangi wajahmu yang letih, sebab seharian penuh bertarung dengan kegiatan yang memaksa untuk tetap berada di lapangan hitam tiada ampun.
Akhirnya, perkenalan kita pun semakin lekat, aku sering membantumu membuat paper dan begitu sebaliknya. Kadang aku juga meminjam bukumu dan kamu tak pernah segan-segan mengikhlaskannya. Saat istirahat, kita berdua dan sejumlah teman-teman ngobrol bersama sambil menikmati renyahnya lumpia bikinan mbak ponirah pemilik kantin. Hari itu ringan saja, tak ada beban. Semuanya mengalir tanpa di buat-buat, tanpa di reka-reka. Cerita kita mengayun menciptakan persahabatan yang semakin deras. Bersama yang lainnya, kitapun sering bertukar pikiran tentang kuliah dan keinginan di masa depan.
Di suatu hari yang lain, gejala takut kehilanganmupun mulai menggerogoti, perasaan ingin bersamamu terus menjadi candu, kamar kosku di penuhi gambarmu, meja belajarku di hantui senyummu terus-menerus. Semestinya aku tak boleh merubah pertemanan menjadi lebih. Begitu pikirku, karena perbedaan keyakinan jelas-jelas menggaris tegas tanpa kompromi. Tapi akupun tak mau membohongi rasa yang terlanjur tercipta : ( Ya, aku mencintainya!, sepertinya itu yang aku rasakan sekarang )
Hari ini, aku berniat bertemu dengannya seusai kuliah, aku berencana mengajaknya pergi ke malioboro dan bicara apa adanya. Semampuku, ya, semampuku. Sebab aku sudah tak kuat lagi menahan gejolak ini. Mungkin yang akan aku terima nanti pahit, tapi lebih baik seperti itu ketimbang tak di kompromikan malah menjadi duri dalam hati.
Malioboro yang ramai, andong dan becak bertebaran mengangkut wisatawan luar negeri dan domestik, pedagang souvenir asik negosiasi dengan para pembeli, polisi lalu-lintas sibuk mengatur jalan agar tak macet. Sebab luas jalan di malioboro jelas-jelas tak seimbang dengan jumlah kendaraan yang semakin lama semakin bertambah. Tapi itulah Yogya, kota yang tak henti-hentinya di datangi wisatawan karena menarik dan ramah. ( bukan karena kemacetannya lho! ).
Bus jalur empat yang membawa kita dari kampus, berhenti di halte dekat pasar beringharjo, akupun turun sambil menggandeng tangannya agar tak terpisah dari banyaknya kerumunan orang. Di depan pintu pasar tradisional, nampak ibu-ibu berkebaya menawarkan beraneka macam makanan jawa. Dari tempe gembos, tahu bacem, sayur mayur yang di jadikan pecal, sate telur puyuh dan segumpal tiwul manis legit.
Sayang, tadi aku sempat makan di kantin kampus, jadi tak berminat lagi untuk mencicipi semua itu.
Kau dan aku berjalan sedikit menuju benteng Vredeburg yang tepat persis di depan Istana Kepresidenan Yogyakarta. Cuaca cerah membuat aku lebih memilih duduk-duduk di halaman benteng yang sejuk di penuhi pohon kamboja. Aku bersyukur karena hari ini tak ada kegiatan pameran atau apapun di benteng ini, jadi aku bisa leluasa mengucurkan isi hati tanpa harus terganggu dengan orang-orang yang biasanya hilir mudik.
Sesekali angin datang menampar pipimu yang bening, duduk di sampingku menunggu dan menebak-nebak, apa gerangan yang akan ku lontarkan dari mulutku. Begitulah aku menebak-nebak wajahmu yang nampak khawatir dan kebingungan. Pelan-pelan tapi pasti akhirnya ku beranikan diri mengungkapkan semua keinginan dan harapanku. Fantastis! Kau terdiam sambil menggangguk, tanda setuju kau menerima pinanganku sebagai kekasih yang akan selalu bersamamu di masa datang. ( Oh...,aku lupa bagaimana rasa pahitnya buah maja )
Sore yang riang, hatiku berbunga. Cinta terkembang bersayap terbang menyusup ke dalam sukmamu yang ku tahu juga merasakan bahagia. ( Tuhan...,setelah ini jangan Kau ciptakan perpisahan, sebab cintaku terlalu dalam masuk tak bersisa )
Setiap hari sepulang kuliah, biasanya tepat jam satu siang, kau menungguku setia di depan kelas. Begitu sebaliknya. Komitmen yang kita buat teramat kuat, tak ada satupun yang mampu merevisi klausul baku kau dan aku. Semua terjadi karena cinta. Mustahil terpencar kecuali Tuhan yang meminta.
( sampai-sampai kita lupa dengan perbedaan keyakinan yang sangat sakral )”
Akupun tersentak saat tanganmu yang halus menyadarkanku dari lamunan yang panjang. Pengembaraanku ke masa lalu terhenti. Ruh ku menyatu lagi bersama tubuh dan duduk tepat di hadapanmu. Di kantin kampus. Ya, di kantin kampus aku berdebar-debar menunggumu angkat bicara.
Bibir atasmu mulai bergerak, gemetar seakan berat melontarkan kalimat kulihat, dentuman jantungmu memaksa untuk diam dan tak menghamburkan kata-kata. Pandanganmu kosong, namun tekanan teramat kuat entah dari mana yang akhirnya memaksamu jelas mengeluarkan nada.
“ Bang, bapak tahu tentang hubungan kita, dia menyuruh aku untuk menjauh dari abang. Persoalannya terlalu rumit dan tegas. Bapak bilang jangan jadikan cinta sebagai pengesahan dua insan yang berbeda keyakinan tetap menyatu. Kemarahan bapak tak bisa aku bendung bang, dia berani menganggap aku bukan anaknya kalau aku masih terus bersama kamu”.
Mulutku rapat terkunci, bumi seakan berputar dan ingin menjatuhkan aku ke dalam tumpukan bara api bertubi-tubi. Rasional pertahanan diri pupus seketika, hatiku berlubang. Ingin meledakkan emosi tapi hati menuntuku jangan. Campur aduk kecewa dan amarah tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Begitu aku kira.
“ Lalu, bapakmu bilang apa lagi?” Jawabku sambil membayangkan pahitnya buah maja yang sebentar lagi akan menjadi sahabatku.
“ Bapak tidak bicara apa-apa lagi, dia langsung meredam merah wajahnya lalu membanting pintu masuk ke dalam kamar. Hanya aku yang menafsirkan, memang benar bang, tidak pernah ada satu perahu dua nakhoda, kalau itu terjadi maka seluruh penumpangnya akan jauh tersesat “. Begitu ucapmu terakhir kalinya.
Aku terdiam sambil mengatur ritme nafasku, mencoba merenungi arti dari penyatuan cinta yang besar namun berlandaskan keyakinan yang berbeda. Barangkali bapaknya benar bahwa cinta tak pernah mengajarkan kita untuk mengalahkan keyakinan, ( Kau masuk ke dalam yakinku atau aku yang pindah ke dalam yakinmu. Tidak, itu bukan perintah cinta, cinta teramat tinggi kedudukannya, selama ini manusialah yang sudah menurunkan derajat cinta demi kepentingan segenggam nafsu )
“ De, aku rasa bapakmu benar, selama ini kita mempermainkan cinta hanya karena keinginan bersama terus mendesak-desak. Di balik itu semua, kita tidak mengerti apa arti cinta yang sebenarnya. Kamu boleh pergi de, tapi kita tetap sebagai sahabat yang ada dikala suka dan duka. Toh semua hubungan tidak melulu di isi percintaan sepasang kekasih. Biarlah ini menjadi sebuah kenangan yang penuh hikmah, kau akan terus ada di hatiku meski tak utuh menjadi milikku”.
Matahari perlahan merendah, sinarnya meredup mengantarmu bangkit meninggalkanku, aku lihat kau menjauh, sambil tersenyum ikhlas meski air mata dan desau perihmu terlihat jelas.
Bayangan bulan mulai terlihat, aku bergegas meninggalkan kantin kampus yang mulai sepi. Kelas-kelas terkunci, burung-burung menyelinap genting-genting tinggi. Satu hari penuh makna ku toreh di rak hati terdalam. menganyam cerita lain esok hari, yang tentu berbeda dengan cerita kita...>>>
Selasa, 07 April 2009
SUDAH
Sudi kiranya aku mampir sebentar ke rumahmu
Setelah sekian lama ku kayuh rindu sisa pertemanan kita
Terpisah benua coretan janji tak bermakna artinya
Serpihan kasih binasa perlahan di lalap waktu dan air mata
Sejenak saja, ijinkan aku menjenguk wangi rambut dan teduh matamu
Tolong bukakan pintu berandamu meski tak ikhlas
agar aku masuk menyentuh merah bibirmu yang ku kenal dulu
membasuhnya dengan kasih walau sudah tak lengkap betul
memaksamu memeluk hambar isi hati yang nyaris mati
sejenak saja, ijinkan aku menunjukkan memarnya penyesalan
Sesudah itu, relakan aku pergi lagi menembus mimpi
menjelajahi malam menghitung bintang melupakanmu
mengukir kelam keringkan asa di pematang bulan
jangan panggil aku jangan pula kau lambaikan tanganmu
supaya ringan langkah berlalu menelusuri sepi kesendirian
Sore itu di shelter kwitang...
Ku tunggu kau di antara gerimis pekat awan
Bersandar keinginan menyapa teduh bola matamu
Menyibak asa menggigil hasrat segera memelukmu
Pertemuan yang lengang tiada halang melaju tenang
Sore itu di sheter kwitang...
Merayap kejenuhan sumbang asmara terlalu lama
Burung beriring pulang sengon rindang basah di tabuh hujan
Gelisah berjejal tak kunjung reda meski kau melangkah datang
Kebingungan yang ganjil aku menunggu kau atau bukan
Sore itu di shelter kwitang...
Pelangi tak muncul gedung-gedung tua di depan kedinginan
Rasa yang hampa meski sekarang kau tiba di hadap muka
PAGI BULAN NOVEMBER
Pernah kukirim bahasa rindu kepadamu
lewat angin dan lirih butiran gerimis malam hari
kau tak menjawab bahkan pintumu alpa terbuka
sementara inginku kau pungut meski hanya sejumput
Pernah kulayang sepucuk resah jauh darimu
lewat ombak merintih menggulung di samudera pilu
kau tak bergeming pagar hatimu terkunci sendu
beranda jiwa sesak melupa di kesunyian lara
Ingin kucambuk bahasa rindu sepucuk resah
berharap lega mengingatmupun sia – sia
sebab kau tak pernah menerima rindu dan resahku
yang selalu kuletakan di atas angan dan degup jantungmu
MEMO
Ingatkah kau tiga tahun yang lalu…
di batang pinus itu kita ukir namamu dan namaku
di lingkari bulatan hati pisau lipat saksi menancap
di lumuri pilu mengingat orang tua kita tak setuju
di ombang-ambing gelisah mencari jalan keluar
Ingatkah kau tiga tahun yang lalu...
tertawa bersama melintasi srumbung menuju jurangjero
tanganmu kuat memeluk aku yang setengah meragu
mataku pedas memacu keyakinan berharap kau selamanya
cengkeramanmu semakin lekat, hujan mengiring lebat jiwa resah
kini, dimana kau ?
Saat aku sekarat menahan rindu setia untuk menanti
Menziarahi bukit mengelupas batang pinus nama kita tak ada lagi
Mimpi-mimpi tersangkut awan berarak tak punya jejak
Mensiasati rumah pergi sendiri tak jelas tuju